Berinvestasi seolah telah menjadi kebutuhan masyarakat modern saat ini. Ia semacam gaya hidup yang tak dapat dipisahkan dalam keseharian kita. Produk investasi pun kian bertebaran, mulai dari yang menawarkan keuntungan seadanya, bagi hasil yang tinggi, hingga investasi plus.

Tiap orang punya cara sendiri-sendiri dalam berinvestasi, baik untuk urusan pemilihan produk, lama investasi, maupun kemampuan modal yang mampu mereka tanamkan. Namun, ada satu produk investasi yang kini mulai dilirik segala kalangan investor, yakni saham di pasar modal.

Berinvestasi saham di pasar modal dianggap mampu menghasilkan imbal hasil atau keuntungan yang lumayan. Kepala Divisi Edukasi BEI Djoko Saptono pernah mengungkapkan satu alasan, karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan terus naik setiap tahunnya.

Sebagai contoh, saham Unilever pada 1 Januari 1993 berada di harga Rp 23.600 per lembar. Jika seseorang membeli saham tersebut sebanyak 1 lot (1 lot saat itu 500 lembar, kini 100 lembar) berarti senilai Rp 11,8 juta. Saham tersebut kemudian disimpan tanpa ditransaksikan sampai pada 25 April 2014 menjadi Rp 1,7 miliar. Terlihat ada pertumbuhan 14.83 persen.

Maka, andai membeli saham yang tepat, keuntungan berinvestasi saham tentu sangat besar, setidaknya mengalahkan inflasi yang rata-rata 6,2 persen. Bandingkan dengan tabungan yang hanya memberi bunga rata-rata 2,5 persen per tahun, atau deposito berjangka sekitar 7,4 persen per tahun. Bahkan, investasi emas rata-rata hanya memberi return sekitar 12,9 persen setahun. Sementara untuk saham, rata-rata kenaikan imbal hasilnya bisa mencapai 25,6 persen.

Berinvestasi saham juga minim risiko. Artinya, kecil terjadi penipuan sebagaimana banyak produk investasi lain. Kalaupun terjadi fraud (kecurangan) yang dilakukan Manajer Investasi (MI) atau perusahaan sekuritas (perusahaan perantara), ada perusahaan yang menjamin kerugian tersebut.

Risiko terbesar yang mungkin muncul adalah jika terjadi capital loss atau perusahaan yang sahamnya kita beli kolaps dan bangkrut hingga dikeluarkan dari pasar bursa. Ibarat membeli sebuah perusahaan, akan mendapat keuntungan jika perusahaan untung (capital gain), namun juga akan ikut merugi andai grafik perusahaan menurun.

Sumber: ciputraentrepreneurship.com