Pada krisis tahun 1998 dan 2008 lalu tentu kita sudah mulai terlatih dalam mengelola keuangan pada masa krisis. Untuk itu, melihat tanda-tanda perekonomian yang melemah akhir-akhir ini tentunya kita sudah menyiapkan sesuatu untuk menghadapi hal buruk itu terjadi. Setidaknya anda sudah menyiapkan mental.

Ya, mentalitas kita dalam mengelola keuangan juga sangat penting dalam menghadapi gejolak perekonomian. Banyak orang di luaran sana hanya berfokus pada strategi finansial yang paling ampuh untuk menyelamatkan diri. Tapi sayang, tidak sedikit yang akhirnya terseret arus krisis. Hal ini menjadi pelajaran untuk kita bahwa mentalitas kita juga mempunyai peran penting.

Ketika mendengar kata krisis, banyak orang akan langsung bereaksi. Terutama para pelaku perdagangan saham. Kekacauan akan terjadi, harga saham yang dulunya di atas langit harganya, mendadak turun drastis. Sebaliknya, ada saham yang meningkat tajam dan menguntungkan sebagian pihak. Mata uang pun demikian. Pergolakan ini dalam sekala besar dapat sangat merugikan. Bayangkan sebuah negara yang nilai mata uangnya turun drastis, rakyat kecilnya akan sanggup membeli apa?

Mentalitas yang baik tentunya adalah tidak mudah terbawa arus. Saat perekonomian dalam kondisi normal, orang cenderung mengabaikan investasi dan tabungan masa depan. Sikap konsumtif yang terlalu tinggi akan menjadi boomerang di masa depan. Justru di saat perekonomian sedang dalam kondisi normal adalah kesempatan anda untuk menghimpun tabungan masa depan dengan maksimal. Sehingga apapun yang akan terjadi di masa depan, anda sudah mempunyai bekal untuk kesetabilan perekonomian anda. Mentalitas seperti inilah yang jarang kita miliki. Kita sering lupa bahwa perekonomian itu mengalami siklus. Saat dimana perekonomian suatu negara sedang bagus-bagusnya, di depan selalu ada sumbu yang sanggup membalik keadaan. Tabungan masa depan adalah semacam rem pada roda yang berputar, walaupun tidak menjamin roda akan berhenti seketika itu juga, setidaknya dapat memperlambatnya. Selamat mencoba!