Survei Bank Indonesia tahun 2013 terhadap 5000 orang menunjukkan, 64 % responden mengaku akan berinvestasi properti karena yakin harganya masih bisa naik. Melihat gejala itu, bank sentral buru-buru mengingatkan perbankan agar memperketat penyaluran kredit properti. Sebab, ada risiko harga properti masuk periode bubble. Periode apakah itu? Seberapa bahayakah periode bubble bagi perkembangan investasi properti di Indonesia?

Gelembung properti (property bubble) terbentuk ketika harga properti melambung jauh di atas nilai fundamentalnya. Saat ini diperkirakan gelembung-gelembung itu telah membumbung terlampau tinggi dari harga wajarnya, sehingga riskan pecah. Apa yang menyebabkan hal tersebut?

Pertama, likuiditas yang berlebihan pada sistem keuangan sehingga suku bunga kredit rendah. Ditambah dengan standar kredit bank yang relatif longgar, hal ini bisa menyebabkan lonjakan harga properti karena maraknya spekulasi dengan menggunakan utang (leveraged speculation).

Kedua, faktor-faktor psikologi sosial. Misalnya, kecenderungan investor mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd) alias perilaku membebek. Investor properti kian bertambah bukan karena aspek harga, tapi karena anggapan cuan (keuntungan) cepat di pasar properti.

Ketiga, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) para investor atau spekulan. Dua kekuatan pasar ini dapat berjalan bersama pada saat pasar properti bullish (naik terus) seperti sekarang ini. Keserakahan mendorong investor atau spekulan masuk ke properti dan ketakutan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar (opportunity lost) membuat investor atau spekulan lain ikut berbondong-bondong masuk.

Peringatan bubble properti di Indonesia telah ditabuh sejak lama. Misalnya, dalam laporan Indonesia Economic Quarterly 18 Maret 2013, Bank Dunia menyatakan properti Indonesia berisiko masuk periode bubble, dengan indikator terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang 2012, terkhusus di sektor apartemen, ritel, perkantoran, serta kawasan industri di Jakarta.

Jesse “Ten People Who Predicted the Financial Meltdown in 2008” Colombo, analis ekonomi The London Times, berteori, gelembung properti di Indonesia terjadi akibat “emerging market property bubble“. Artinya, periode itu juga terjadi di China, India, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Singapura dan Filipina. Jesse meramal, bubble properti akan meletus saat gelembung di Cina dan harga komoditas meletus.

Lantas, apa akibatnya? Saat gelembung pecah, pasti harga properti akan terjun bebas (crash). Lalu, apa yang harus dilakukan? Untuk yang satu ini, Anda bisa menilik teori “Greater Fool” yang menjelaskan bahwa bubble terbentuk dari perilaku spekulan yang terlalu optimistis (The Fools) yang berani membeli aset dengan nilai yang terlalu tinggi (overvalued) dengan harapan bisa menjual kembali kepada spekulan lain (The Greater Fools) dengan harga yang lebih tinggi.

Bubble akan makin menggelembung dan membumbung tinggi sepanjang The Fools bisa menemukan The Greater Fools yang bersedia membayar lebih tinggi. Bubble akan meletus ketika The Greater Fools menjadi The Greatest Fool. Pada saat itu, semoga Anda bukanlah the Greatest Fool tersebut.

Sumber: edwardconsulting.blogspot.com