Kurs rupiah memang tidak stabil. Kadang menguat, kadang melemah terhadap dolar. Pernah rupiah selemah-lemahnya berhadapan dengan dolar. Situasi tersebut seperti yang kita kenal dengan krisis 98, terjadi saat Soeharto masih menjadi Presiden tahun 1998 dan kemudian lengser karena tak bisa menangani krisis ekonomi yang terjadi.

Ada beragam faktor yang menyebabkan melemahnya kurs rupiah. Mulai dari diferensiasi inflasi, diferensiasi suku bunga, defisit neraca berjalan, utang publik, ketentuan perdagangan, sampai stabilitas politik dan ekonomi.

Berbagai sektor bisnis terkena dampak dari krisis ini dan kemudian banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa justru ada beberapa sektor bisnis yang mendapat keuntungan dari keadaan tersebut, yang salah satunya adalah para eksportir dalam negeri.

Akibat kurs rupiah melemah maka banyak permintaan dari luar terhadap produk-produk Indonesia. Meningkatnya pembelian produk-produk dalam negeri tentu saja meningkatkan keuntungan beberapa eksportir Indonesia, seperti eksportir mebel dan tekstil.

Kondisi ini adalah hal yang logis karena bila barang-barang dalam negeri dijual dengan mengacu pada rupiah, sudah tentu importir yang membelinya dengan mengonversi dolarnya ke rupiah akan mendapatkan barang dalam jumlah lebih besar daripada sewaktu rupiah menguat. Dengan kata lain mendapat harga yang lebih murah.

Sayangnya, keuntungan tersebut tidak dirasakan semua eksportir. Bagi eksportir yang produksi produk-produknya mengandalkan bahan baku dari luar negeri, melemahnya rupiah justru memaksa mereka untuk menaikkan harga jual produknya. Naiknya harga jual produk yang sebanding dengan menguatnya dolar tidak membawa keuntungan berarti bagi eksportir tersebut. Banyak yang kemudian tidak memiliki tabungan masa depan akibat dari krisis ini.

#tabunganmasadepan